Monday 25 April 2022

History of Borobudur



 History of Borobudur

The Sailendra line fabricated this Largest Buddhist landmark on the planet between AD 780 and 840. The Sailendra are the decision tradition in Central Java at that point. It was worked as a spot for lauding Buddha and a journey spot to direct humanity from common longings into edification and intelligence as per Buddha. This landmark was found by the British in 1814 under Sir Thomas Stanford Raffles, it was until 1835 that the whole region of the sanctuary has been cleared.
Borobudur worked in the style of Mandala which represents the universe in Buddhist educating. This construction is square formed with four passage point and a round community point. Working from the outside to the inside, three zones of awareness are addressed, with the focal circle addressing obviousness or Nirvana.

Zone 1: Kamadhatu

The incredible world, the world possessed by ordinary citizens.
Borobudur's secret Kamadhatu level comprises of 160 reliefs portraying scenes of Karmawibhangga Sutra, the law of circumstances and logical results. Representing the human way of behaving of want, the reliefs portray looting, killing, assault, torment and criticism.


An edge of the covering base has been forever eliminated to permit guests to see the secret foot, and a portion of the reliefs. Photography of the whole assortment of 160 reliefs is shown at the Borobudur Museum which is inside the Borobudur Archeological Park.

Zone 2: Rapudhatu

The temporary circle, people are let out of common matters.

The four square degrees of Rapadhatu contain displays of cut stone reliefs, as well as a chain of specialties containing sculptures of Buddha. In absolute there are 328 Buddha on these balustrade levels which likewise have a lot of simply lavish reliefs.


The Sanskrit original copies that are portrayed on this level more than 1 300 reliefs are Gandhawyuha, Lalitawistara, Jataka and Awadana. They stretch for 2.5km. What's more there are 1 212 brightening boards.

Zone 3: Arupadhatu

The most noteworthy circle, the dwelling place of the divine beings.

The three round porches prompting a focal vault or stupa address the transcending the world, and these patios are significantly less fancy, the immaculateness of structure is foremost.

The porches contain circles of punctured stupas, a transformed ringer shape, containing models of Buddha, who face outward from the sanctuary. There are 72 of these stupas altogether. The noteworthy focal stupa is presently not generally so high as the first variant, which transcended ground level, the base is 9.9m in breadth. Not at all like the stupas encompassing it, the focal stupa is vacant and clashing reports recommend that the focal void contained relics, and different reports propose it has been unfilled 100% of the time.


The Reliefs

The all out of 504 Buddha are in reflective posture, and the 6 different hand positions addressed all through the sanctuary, frequently as indicated by the bearing the Buddha faces.

The Temple Corridors

During the rebuilding in the mid twentieth hundred years, it was found that two more modest sanctuaries in the locale, called Pawon and Mendut, are situated precisely in accordance with the Borobudur Temple. Pawon sanctuary is found 1.15 km from Borobudur while Mendut Temple is found 3 km from Borobudur. It is accepted that there is common strict connection between the three sanctuaries, albeit the specific ceremony process stays a secret.

The three sanctuaries are utilized to shape a course for the Waisak Day Festival held every year upon the arrival of the full moon in April or May. The celebration honors the birth, illumination and the demise of Gautama Buddha.

 History of Borobudur VIDEO






BOROBUDUR

 

BOROBUDUR

Dibangun dan dikenal sebagai mahakarya bangsa dari Wangsa Syailendra, Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tidak melulu melalui masa dipuja dan dikagumi. Persentuhannya dengan manusia, sejak sebelum tahun 1900 hingga sekarang, telah membuat candi ini melalui sejarah panjang ”tersakiti” karena beragam aksi perusakan dalam beragam variasi.

Berdasarkan pada banyak buku referensi, termasuk di dalamnya buku Trilogi I 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur, Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur dari Balai Konservasi Borobudur, pada tahun 1814 keberadaan Candi Borobudur baru diketahui oleh Letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles. Ini diketahuinya dari laporan seseorang yang didapatkannya dalam perjalanan dinasnya ke Semarang. Candi itu diketahui berada di Bumisegoro, Kabupaten Magelang.

Raffles yang memiliki minat besar pada peninggalan kuno masa lalu menunjuk Cornelius, perwira Belanda yang berpengalaman dalam peninggalan kuno di Jawa, untuk membersihkan, memunculkan kembali Candi Borobudur yang ketika itu menyerupai sebuah bukit yang tertutup semak belukar dan pohon-pohon. Sekalipun berhasil memperlihatkan candi, kegiatan pembersihan tersebut menjadi awal gangguan terhadap Candi Borobudur. Ketika itu, banyak warga mulai berani mengambil batu candi dan memanfaatkannya sebagai bahan bangunan rumah mereka.

Pembersihan dan pembenahan kemudian dilanjutkan oleh Residen Kedu Hartmann sampai dengan tahun 1835. Di era Hartmann itulah pemerintah Hindia Belanda melakukan promosi dan publikasi sehingga nama Candi Borobudur mulai terangkat di mata dunia. Banyak orang, dari berbagai kalangan, mulai melihat dan menilai candi tersebut. Bahkan, di tahun 1882, muncul usulan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk merobohkan Candi Borobudur dan menyimpan kepingan batu dengan relief di museum. Namun, usulan itu ditolak.

ARSIP BALAI KONSERVASI BOROBUDUR

Saat pertama ditemukan, puncak stupa utama Candi Borobudur, pernah dimanfaatkan sebagai kafe, atau kedai tempat minum kopi oleh warga Belanda.

Dibukanya Candi Borobudur kepada khalayak ramai secara otomatis juga makin membuka akses bagi siapa saja untuk merusak candi. Pada masa itu dilakukan observasi dan dokumentasi yang dilakukan sembarangan, dengan meninggalkan kaidah arkeologi. Stupa induk pernah dibongkar paksa hanya demi alasan untuk mengetahui benda penting apa yang ada di dalamnya.

Perilaku seenaknya juga terus berlangsung. Bahkan, di puncak stupa induk pernah dibangun selter, yang kemudian menjadi gardu pandang sekaligus tempat nongkrong untuk minum kopi.

Tidak hanya perilaku manusia, kerusakan bangunan juga dipicu oleh faktor lingkungan, yaitu air dan sinar matahari. Dua hal inilah yang memicu pertumbuhan organisme yang makin mempercepat pelapukan batuan.

Melihat kerusakan yang demikian parah, pemerintah Hindia Belanda pun akhirnya memutuskan untuk melakukan pemugaran. Pemugaran I yang berlangsung 1907-1911 ini dipimpin oleh Theodore van Erp.

Dukut Santoso, Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur tahun 1999-2006, dalam tulisannya di buku Trilogi I 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur menuturkan, pascapemugaran I, candi ini semakin ramai dikunjungi wisatawan. Ketika itu candi sudah tampak berdiri lengkap, dengan bagian puncak stupa induk telah dilengkapi chattra, ornamen tertinggi pada candi Buddha. Pemasangan chattra dimaksud untuk menambah keindahan saat candi ini difoto.

Namun, pemugaran ini belum sempurna. Banyak bagian terpantau masih dalam kondisi miring dan sebagian melesak. Sebanyak 24 gapura mendesak untuk diperbaiki, dan bagian pagar langkan yang belum terpasang sempurna. Oleh karena itulah Pemerintah Indonesia kemudian memutuskan dilaksanakannya pemugaran kedua, yang berlangsung selama 10 tahun, yakni pada 1973 hingga 1983. Hal ini semakin mempercantik dan memperkokoh bangunan candi.


Bom dan pengunjung

”Gangguan” terhadap Candi Borobudur pun tidak berlalu dan tidak terlekang waktu. Tanggal 21 Januari 1985, hanya berselang sekitar dua tahun setelah pemugaran II, ”gangguan” terdahsyat pun terjadi, Candi Borobudur dibom.

Sekalipun belum ditetapkan warisan budaya dunia, kejadian tersebut tentu saja mengguncang masyarakat luas.

”Saya tidak tahu harus omong apa lagi. Kita semua harus malu peristiwa ini bisa terjadi,” ujar Soekmono, arkeologi sekaligus pimpinan proyek pemugaran II Candi Borobudur (Kompas, 1985).

Aksi teror bom itu terjadi di lantai 8-10 Candi Borobudur. Sebanyak 13 bom telah diletakkan oleh pelaku teror, sembilan di antaranya meledak dan empat di antaranya tidak. Berdasarkan data dari Balai Konservasi Borobudur (BKB), ledakan yang demikian eksplosif tersebut merusak sembilan stupa, yakni bentuk kerusakan tersebut terdiri dari 631 balok batu stupa runtuh, 243 balok batu pecah, dan 155 balok gempil. Enam balok batu di antaranya bahkan terdata hancur.

Ledakan juga merusak sembilan arca Buddha dengan rata-rata kerusakan terjadi pada bagian kaki, tangan, dan perut. Kerusakan terparah terjadi pada arca Buddha di teras tingkat III di lantai 10. Arca tersebut pecah hingga 67 bagian dan ada bagian-bagian yang hancur serta hilang, tidak ditemukan.

Dua pelaku peledakan berhasil dibekuk dan dijatuhi hukuman, tetapi seorang lagi, yang diduga sebagai dalang peledakan, hingga saat ini belum terungkap dan tertangkap.

Segala kerusakan akibat bom bisa diperbaiki dalam jangka waktu empat bulan. Aksi peledakan yang dipicu oleh teroris dengan pemahaman radikal hanya terjadi satu hari, tetapi perusakan dalam berbagai bentuk dengan berbagai alasannya terus terjadi hingga kini.

Salah seorang teknisi konservasi dari BKB, Basuki, mengatakan, perilaku pengunjung juga sering membahayakan keutuhan candi.

Seorang pengunjung, misalnya, pernah menaiki pagar langkan dan menyebabkan satu batu antefik yang memiliki berat sekitar 30 kilogram dan terpasang pada ketinggian 1,5 meter dari lantai jatuh.

”Waktu itu terdengar suara berdebam keras, dan ketika saya pergi untuk melihat, batu tersebut sudah jatuh dan ada bagian yang pecah berserak di lantai,” ujarnya. Saat kejadian, Basuki sedang bertugas berkeliling di bangunan candi.

Lain waktu, seorang pengunjung juga pernah ada yang naik ke atas stupa. Ingin bergaya saat difoto sambil menyentuh bagian atas stupa, dia justru menyenggol dan membuat bagian puncak stupa jatuh.

Seorang pengunjung lain juga pernah mencoba difoto di atas pagar langkan. Dalam upaya menaiki pagar tersebut, batu yang dinaiki di bagian bawahnya akhirnya pecah. Dalam pengamatan di lapangan, Januari lalu, garis retakan masih terlihat jelas pada batuan yang pecah tersebut.

Kepala salah seorang pengunjung yang masih balita terjepit dalam lubang stupa yang berukuran 30 x 30 sentimeter. Demi keselamatan pengunjung, akhirnya petugas BKB terpaksa ikut ”merusak”, mengikis batuan, agar kepala anak balita tersebut bisa dikeluarkan.

DOKUMENTASI BALAI KONSERVASI BOROBUDUR

Bekas coretan dengan menggunakan cat semprot turut merusak dan mengotori badan Candi Borobudur.

Candi Borobudur juga terancam oleh aksi vandalisme yang dilakukan pengunjung dengan mencoret-coret batuan menggunakan cat semprot.

Tidak hanya dalam hal perusakan batuan, pengunjung, dengan segala perilakunya, juga berkontribusi pada persoalan sampah di kawasan Candi Borobudur. Masalah sampah termasuk perilaku pengunjung yang tak terkendali saat membuangnya. Hal ini sangat terasa saat musim liburan, seperti saat libur Lebaran dan liburan anak sekolah.

Dari hasil wawancara dan peliputan Kompas, Juli 2010, perilaku pengunjung sungguh luar biasa jorok. Botol-botol plastik minuman berserakan di lorong, atau diletakkan begitu saja, ”bersanding” dengan arca Sang Buddha, dan banyak puntung rokok diselipkan di batuan candi.


DOKUMENTASI BALAI KONSERVASI BOROBUDUR

Seorang petugas kebersihan Candi Borobudur mengambil bekas permen karet dari badan candi. Kebiasaan buruk pengunjung dalam membuang sampah turut merusak badan candi.

Kepala Seksi Konservasi BKB Yudi Suhartono mengatakan, pengunjung memang memiliki kecenderungan membuang sampah apa saja seenaknya saat berjalan-jalan di sepanjang lorong candi.

”Ada pengunjung yang seenaknya membuang biji jambu. Kami pernah menemukannya di sela-sela batuan candi, dan ketika itu biji tersebut sudah mulai tumbuh,” ujarnya.

Rohmat (37), petugas kebersihan di Candi Borobudur, mengatakan, musim liburan memang selalu identik dengan musim ”panen” sampah. Selama menjalankan tugas shift siang, mulai pukul 12.00-17.00, jika pada hari biasa hanya terkumpul satu gerobak sampah, pada saat sekarang dia bisa mengumpulkan hingga empat gerobak sampah. Satu gerobak berkapasitas 0,49 meter kubik.

”Sampah yang cukup banyak saya temukan, baik di tempat sampah maupun yang tercecer dibuang sembarangan, adalah kantong plastik, puntung rokok, botol minuman, dan popok bayi,” ujarnya.

General Manager Taman Wisata Candi Borobudur I Gusti Putu Ngurah Sedana mengatakan, pihaknya selalu melakukan pemeriksaan terhadap barang bawaan pengunjung. Makanan adalah barang yang tidak diizinkan dibawa, dan barang lain yang tidak diperlukan, seperti cat semprot, dipastikan akan disita oleh petugas. Namun, pemeriksaan dan penyitaan barang tidak bisa dilakukan optimal karena makanan, seperti permen karet, seringkali sudah ada dalam mulut pengunjung.

Lingkungan dirusak

Candi Borobudur adalah candi Buddha yang dibangun di kawasan perbukitan. Mengacu dari hasil penelitian, kondisi lingkungan geografis candi ini saat dibangun adalah berupa lingkungan danau dengan beberapa aliran sungai bermuara di dalamnya (Penggarus Aktivitas Gunungapi Kuarter terhadap Perubahan Lingkungan Danau di Daerah Borobudur dan sekitarnya, H Murwanto, 1996).

Hipotesis tentang terdapatnya lingkungan danau pertama kali dikemukakan oleh seorang arsitek seniman Belanda, WOJ Nieuwenkamp, dalam Algemeens handelblad, koran berpengaruh di Belanda yang terbit pada tahun 1828-1970. Dalam tulisannya berjudul Het Borobudur Meer disebutkan bahwa Candi Borobudur merupakan perwujudan ceplok bunga teratai yang mengapung di tengah-tengah telaga. Hipotesis ini juga didukung oleh sejumlah ahli geologi, antara lain Van Bemmelen. Dalam bukunya, De geologiche Geschiedenis van Indonesie, terbitan tahun 1952, Van Bemmelen menyebutkan bahwa di daerah Kedu Selatan dulu pernah terbentuk danau yang sangat luas, yang pembentukannya dipicu oleh letusan Merapi yang sangat kuat di tahun 1006 Masehi.

Jejak, bekas kawasan danau tersebut adalah bagian dari sejarah Candi Borobudur. Namun, di masa kini, jejak itu nyaris tak terlihat lagi.

Peneliti danau purba dari BKB, Yenny Supandi, mengatakan, sebanyak 98 bangunan baru saat ini berdiri di atas lokasi bekas danau purba Borobudur. Bangunan-bangunan baru tersebut terpantau berdiri selama rentang waktu 2014-2019. Lebih dari 50 persen dari 98 bangunan tersebut adalah bangunan komersial, seperti hotel/penginapan, restoran, homestay, dan termasuk pula di dalamnya ada bangunan balai ekonomi desa (balkondes), bentukan dari salah satu badan usaha milik negara. Luas lahan yang dipakai sebagai lokasi pembangunan 98 bangunan baru tersebut terdata mencapai 17,64 hektar.

Berdirinya bangunan-bangunan tersebut, menurut Yenny, secara otomatis menutup gambaran dari konsep kosmologi yang diterapkan pada struktur bangunan dan penentuan lanskap atau lokasi berdirinya Candi Borobudur.

Mengacu pada konsep kosmologi Buddhis, Candi Borobudur diibaratkan sebagai Meru atau gunung yang menjadi penghubung antara surga dan dunia. Gunung ini berdiri di lokasi yang dikelilingi oleh gunung-gunung, laut, dan sungai-sungai besar.

Dengan pertimbangan itulah Candi Borobudur dibangun di lokasinya saat ini, dengan posisi dikelilingi bukit, gunung, dan pegunungan, yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Sindoro, Tidar, dan Pegunungan Menoreh. Di kawasan tersebut juga mengalir air dari sungai-sungai besar, seperti Sungai Elo, Progo, Sileng, dan danau purba Borobudur.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya, kawasan danau purba tersebut sebenarnya termasuk dalam kawasan yang dilindungi, yakni pemanfaatan lahannya diatur dan tidak boleh ada bangunan berdiri di atasnya. Selain itu, kawasan danau purba juga dianggap penting dijaga karena menjadi komponen penting dalam sejarah pembangunan Candi Borobudur, sebagai situs peninggalan agama Buddha dan warisan budaya dunia.

Penutupan wisata   

Aturan ataupun teori tentang perlindungan cagar budaya memang sebatas hanya menjadi tulisan. Dengan begitu, banyaknya rencana pembangunan dari pemerintah dan penetapan Candi Borobudur sebagai destinasi wisata super prioritas membuat aksi ”perusakan” pada batuan dan lingkungan menjadi hal yang tak terelakkan terjadi pada kawasan candi.








Nama Borobudur


BOROBUDUR

 Nama Borobudur

Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas, meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui. Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.

Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang sering kali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba". Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.

Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.

Nama Borobudur VIDEO :






Location


 BOROBUDUR

Location 

Around 40 kilometers (25 mi) northwest of Yogyakarta and 86 kilometers (53 mi) west of Surakarta, Borobudur is situated in a raised region between two twin volcanoes, Sundoro-Sumbing and Merbabu-Merapi, and two waterways, the Progo and the Elo. As indicated by neighborhood legend, the region known as Kedu Plain is a Javanese "consecrated" place and has been named "the nursery of Java" because of its high farming ripeness.

During the rebuilding in the mid twentieth hundred years, it was found that three Buddhist sanctuaries in the area, Borobudur, Pawon and Mendut, are situated along a straight line. A custom connection between the three sanctuaries probably existed, albeit the specific ceremony process is obscure.

Location VIDEO